MAKALAH PERKAWINAN ANTAR AGAMA


PANDANGAN AGAMA ISLAM TERHADAP PERKAWINAN ANTAR AGAMA
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
NOMOR 1 TAHUN 1974
Bagian I.
PENDAHULUAN

  1. A. Latarbelakang Masalah
Sesuai hakekat manusia yang membedakannya dengan mahluk hidup lainnya, sudah menjadi kodrat alam sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani.
Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-sayarat terentu disebut perkawinan.
Perkawinan ini disamping merupaka sumber kelahiran yang berarti obat penawar musnahnya manusia karena kematian juga merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur tentang hidup bersama itu.
Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya.
Pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapat pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu sering berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang  lain. Di dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula perkawinan mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam hukum positif kita. Dengan adanya pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Tidak ada persoalan apabila perkawinan hanya dilakukan antara orang-orang yang seagama atau sekepercayaan.
Mengingat dinegara kita hidup serta diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan.
  1. B. Maksud dan Tujuan.
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam, penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum baik bagi penulis sendiri maupun untuk umum.
Penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengertian, tujuan dilakukannya, syarat dan rukun perkawinan menurut agama Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh warga negara Indonesia dan pengaturan perkawinan yang terdapat dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 terhadap perkawinan antar agama yang masih banyak terjadi di Rwpublik tercinta ini. Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan penulisan ini adalah :
-         Untuk mengetahui apakah menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan antar agama itu dibolehkan atau dilarang ?
-         Untuk mengetahui pandangan agama Islam tentang perkawinan antar agama tersebut ?
  1. C. Identifikasi Masalah
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut dapat dilihat bahwa mengingat dinegara kita hidup serta diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis melakuan identifikasi masalah sebagai berikut :
  1. Pandangan Agama Islam tentang perkawinan antara agama
  2. Pengaturan mengenai perkawinan antar agama menurut UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Bagian II.
TINJAUAN TEORITIS
Perkawinan yang istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antar kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang di ridhoi oleh Allah. swt
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga (3) karakter yang khusus, yaitu :
  1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
  2. Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
  3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perkawinan antar agama adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bagian III.
PEMBAHASAN
Pandangan agama Islam terhadap perkawinan antara agama
Perkawinan menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan sexuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik didalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Menurut agama Islam, proses hubungan sexuil manusia harus berjalan dengan semangat kerukunan dan kedamaian dengan menghormati hak-hak azasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.
Arti perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari pada nikah adalah “dham” yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” sedangkan arti kiasannya ialah “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.
Dalam pada itu, perkawinan yang disyariatkan agama Islam mempunyai beberapa segi, diantaranya ialah :
  • Segi ibadah
Perkawinan menurut agama islam mempunyai unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agamanya.
Sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang telah dianugerahi Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah mengusahakan sebahagian agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada bahagian yang lain”
(H.R. Thabrani dan Al Hakim dan dinyatakan shaheh sunatnya)
  • Segi hukum
Perkawinan yang menurut disyariatkan agama Islam merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana Firman Allah SWT :
“Bagaimana kamu akan mengambil harta yang telah kamu berikan kepada bekas isterimu, padahal sebagian kamu telah bercampur (bergaul) dengan yang lain sebagi suami isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kamu janji yang kuat. (Q.S An-Nisa : 21)
Sebagi perjanjian, perkawinan mempunyai beberapa sifat :
  1. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
  2. Akibat perkawinan, masing-masing pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu terikat oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan ditentukan persyaratan berpoligami bagi suami-suami yang hendak melakukannya.
  3. Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu dapat dirobah sesuai dengan persetujuan masing-masing pihak dan tidak melanggar batas-batas yang ditentukan agama.
Perkawinan bukan semacam jual beli. Dalam jual beli ada keseimbangan antar nilai jumlah uang yang ditentukan bagi sipembeli dengan barang yang diserahkan oleh penjual
  • Segi sosial
Hukum Islam memberikan kedudukan sosial yang tinggi kepada wanita (isteri) setelah dilakukan perkawinan, ialah dengan adanya persyarat bagi seorang suami untuk kawin lagi dengan isterinya yang lain, tidak boleh suami mempunyai isteri lebih dari empat, adanya ketentuan hak dan kewajiban suami dan isteri dalam rumah tangga, dan sebagainya. Perkawinan dilakukan untuk membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencitai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga-keluarga yang seperti inilah yang akan merupakan batu bata, semen, pasir, kapur dan sebagainya dari hubungan umat yang dicita-citakan oleh agama Islam. Karena itu Rasulullah SAW melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak kawin yang menyebabkan hilangnya keturunan, keluarga dan melenyapkan umat.
Agama Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja tetapi di ikat juga dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut ajaran Islam perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu persetujuan biasa melainkan merupakan suatu persetujuan suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.

Tujuan perkawinan ialah :

  • Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan
  • Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
  • Memperoleh keturunan yang sah
  • Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan
menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Hukum Islam mengatur tentang syarat-sayarat dan rukun perkawinan menurut firman Allah dalam Al-Quran (yang tidak dapat dirubah dan berlaku sepanjang masa) dan Al-Hadits.
Adapun perbedaan syarat-syarat dan rukun perkawinan Islam yaitu bahwa syarat-syarat merupakan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan, sedangkan rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan.
Rukun perkawinan Islam terdiri dari :
  1. Harus ada calon suami dan isteri, atau wakilnya
  2. Harus ada wali dan calon isteri, atau wakilnya
  3. Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat.
  4. Adanya ijab-qabul
Adapun syarat-syarat perkawinan yaitu :
  1. Adanya persetujuan dari kedua calon suami isteri dan dari wali calon isteri
  2. Beragama Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya
  3. Tidak ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat
  4. Tidak ada hubungan semenda
  5. Tidak ada hubungan sepersusuan
  6. Calon isteri tidak terikat dalam suatu tali perkawinan
  7. Tidak ada perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri.
Syarat-syarat perkawinan Islam tentang tidak adanya perbedaan agama antar calon suami dan calon isteri tersebut diatas hanya berlaku mutlak bagi wanita Islam.
Dalam Al-Quran surat Al-Um, Rasulullah SAW mengharamkan perkawinan wanita Islam dengan pria yang bukan Islam.
Adapun alasan melarangn perkawinan antara sorang wanita Islam dengan pria yang bukan Islam adalah disebabkan karena wanita bersifat lemah hati dan mudah tersinggung perasaannya serta karena kebanyakan wanita berada dibawah kekuasaan pihak laki-laki, maka dikhawatirkan wanita Islam itu murtad meninggalkan Islam.
Bagi pria Islam, Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 menyatakan bahwa diperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan bukan Islam asal saja perempuan itu ahli kitab.
Pria Islam yang ingin menikah dengan wanita yang beragama Jahudi dan Kristen, yaitu wanita-wanita yang berpegang teguh kepada Kitab Suci Taurat dan Kitab Suci Injil dapat diperkenankan atau tidak dilarang asal pihak laki-laki Islam itu kuat imannya dan rajin ibadahnya, baik moral dan mempunyai wibawa dalam rumah tangga, dapat membina rumah tangga serta mendidik isterinya sehingga lambat laun bisa menerima agama Islam dan menjalankannya secara baik.
Pengaturan mengenai perkawinan antar agama menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan dianggap sah apabia diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif
Mengenai perkawinan antar agama apabila  kita teliti pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kita tidak menemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama.
Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama ? Menurut hemat penulis, untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pedoman, yaitu :
  • Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara.
Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
  • Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak.
Bagian IV.
KESIMPULAN
Dari urain diatas, dapat disimpulkan adanya tiga prinsip pokok pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antar pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan agama Islam, yaitu :
  1. Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang yang beragama menyembah berhala, polytheisme, agama-agama yang tidak mempunyai kitab suci, dan dengan kaum atheis.
  2. Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria bukan Islam
  3. Mengenai perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita bukan muslim yang ahli kitab, terdapat tiga macam pendapat yaitu :
-         Melarang secara mutlak
-         Memperkenankan secara mutlak
-         Memperkenenkan dengan syarat yaitu apabila pria muslim itu kuat imannya serta rajin ibadahnya.
Serta dari ketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.



Karya John Ady Susilo Tenaga Pendidik SDN4 Bayung Lencir


0 Responses So Far: